Jumat, 20 Mei 2011

Mengusung Kebangkitan Hakiki

Indonesia merupakan negara yang diproyeksikan akan tumbuh berkembang mengiringi kemajuan China dan India dalam bidang ekonomi. Hal tersebut dibuktikan dengan masuknya Indonesia ke dalam jajaran G-20, yang merupakan perkumpulan negara-negara ekonomi maju di dunia. Dalam iklan kampanye salah satu calon presiden tahun 2009 lalu juga disebutkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia berkurang diikuti dengan inflasi yang menurun, yang bahkan mematahkan teori A.W. Phillips dalam aplikasinya di Indonesia.  Namun apakah kita telah benar-benar merasakan perubahan kemajuan perekonomian di negeri ini? Lalu bagaimana dengan masyarakat miskin yang tidur di pinggiran rel setiap hari, apakah mereka juga merasakan sedikit percikan dana segar yang masuk secara deras dari berbagai instrument investasi yang disumbangkan investor asing ke dalam negeri?

Kondisi paradoks sudah semakin tidak asing lagi di tengah masyarakat. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2010 adalah sebesar 31,02 juta orang atau 13,33% dari total populasi. Namun tahukah kita bahwa tingkat pendapatan minimal rata-rata yang dipakai BPS untuk perhitungan garis batas kemiskinan di Indonesia tahun 2010 sebesar Rp 211.726 per bulan per kapita. Artinya, seseorang yang pendapatannya hanya sebesar Rp 8.000 per hari belum dikategorikan sebagai miskin. Namun bila kita menggunakan dasar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia sebesar $US2 per kapita per hari (Suharto, 2005: 19), setelah dikonversi ke dalam rupiah menjadi sekitar Rp. 540.000, maka tentunya jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 60% dari total penduduk.

Perekonomian adalah denyut nadi suatu bangsa, karena tanpa kesejahteraan dan kemajuan ekonomi maka tidak ada bangsa yang dapat maju dan unggul dari bangsa lain. Namun dalam proses menuju kebangkitan, hilangnya variable norma dalam berbagai pemikiran ekonomi menjadikan kebangkitan yang kita lihat hanya dirasakan oleh sedikit stakeholder. Yang sesungguhnya kita rasakan adalah hanya gemuruh kegembiraan, tanpa kehadiran kita di dalamnya. Itulah sebabnya mengapa diperlukan ekonomi normatif dalam kondisi saat ini. Harus ada pengaturan yang menjamin distribusi kekayaan, jaminan sosial, dan etika dalam bertransaksi ketika sistem ekonomi biasa tidak mengatur hal tersebut secara mendalam. Allah menjadikan manusia di bumi sebagai khalifah harta untuk dikelola dan didistribusikan demi kesejahteraan seluruh masyarakat, bukan untuk menindas golongan tertentu. Bahkan, kata keadilan disebutkan lebih dari 1000 kali di dalam Al-Qur’an setelah kata Allah dan ilmu pengetahuan. Hal tersebut menggambarkan bahwa nilai keadilan sangat penting dalam Islam, terutama dalam kehidupan hukum sosial, politik, dan ekonomi.

Dalam konteks keadilan, bangsa ini memerlukan definisi kebangkitan untuk dijadikan sebagai suatu tujuan bersama. Suatu tujuan dapat dicapai dengan berbagai tools (alat). Cara yang baik akan menghantarkan suatu bangsa ke arah yang baik, begitu pula sebaliknya. Jika tujuan bangsa ini adalah tercapainya kebangkitan perekonomian, maka tools yang dapat digunakan adalah sangat banyak. Namun permasalahannya adalah kita tidak tahu manakah tools yang paling baik dan proporsional untuk membawa negeri ini bangkit kembali. Apakah dengan sistem neoliberalisme yang saat ini sedang hangat diperbincangkan kembali, ataukah dengan sistem sosialis yang ramai diangkat ketika hari buruh sedunia tiba? Tidak ada yang tahu jawabannya secara eksak, kecuali kita kembali kepada Al-Qur’an sebagai pedoman hidup kita sehari-hari.

Dalam rangka menuju kebangkitan bangsa, maka negara haruslah memperhatikan tidak hanya aspek sosial, politik, dan ekonomi, namun juga yang paling penting adalah sumber daya manusia. Suatu bangsa tidak akan bangkit tanpa ruh yang tangguh dan kuat, yaitu insan-insan yang berkualitas dalam berbagai bidang. Pendidikan menjadi tonggak kemajuan dalam memulai suatu peradaban. Lihat saja Jepang ketika Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak dihantam bom atom, seketika itu hal yang ditanyakan oleh pemimpinnya adalah ”Masih ada berapa guru yang hidup?”. Hal tersebut mencerminkan bagaimana arti penting pendidikan bagi rakyat Jepang dan kemajuan bangsanya. Kegigihan dalam menopang sumber daya manusia membuat kita sekali lagi harus kagum atas keberhasilan mereka.

Dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas, harus ada indikator yang dijadikan acuan. Indikator kecerdasan seseorang diukur dengan kecerdasan fisik, intelektual, emosional, dan spiritual. Keempat kecerdasan ini haruslah ditumbuhkan secara seimbang dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Bahkan kecerdasan spiritual merupakan pusat dan hal paling mendasar di antara kecerdasan lainnya, karena dia menjadi sumber bimbingan atau pengarahan bagi tiga kecerdasan lainnya. Oleh sebab itu, alangkah baiknya jika sistem pendidikan kita memperhatikan keempat aspek tersebut, bukan secara parsial hanya meningkatkan intelektualitas. Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan para pemimpin kita 20-30 tahun ke depan, yaitu ketika negeri ini dipimpin oleh para insan yang memiliki kualitas diri. Dengan demikian, kebangkitan hakiki pun pasti akan tercapai sejalan dengan pergantian rezim pemikiran di negeri ini.

Mari jadikan momentum Hari Kebangkitan Nasional ini sebagai penggerak menuju perubahan diri dan bangsa, seperti yang dilakukan para orang tua kita 103 tahun yang lalu.
Wahai umat Islam, bergeraklah.. berbuatlah.. Berikan yang terbaik bagi bumi kita tercinta.
Salam kebangkitan nasional!
Wallahu a’lam bi ash-shawab
 
by: Ryan Ezkirianto, Kadiv SharE SES-C FEM IPB

1 komentar:

  1. Kita menghendaki kebangkitan yang tidak terbatas pada ibadah dan perbuatan mandub saja. Akan tetapi, kita menghendaki kebangkitan atas hukum-hukum Islam keseluruhan baik dalam pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, hubungan luar negeri, tsaqafah dan pendidikan, politik dalam negeri dan luar negeri dan dalam seluruh urusan umat, baik secara individu, kelompok maupun negara.

    BalasHapus