Nisa Silmi Afina-Department of Agribusiness, College of Economic and Management-Bogor Agricultural University
Sharia Economic Student Club (Eksternal).
Kedewasaaan seseorang salah satunya dapat terlihat
dari pandangan mereka dalam mengambil keputusan. Proses pengambilan keputusan
sekilas terlihat biasa, meskipun pada kenyataannya tidak sedikit orang
membutuhkan waktu berhari-hari dalam merumuskan pemikiran guna mengambil sebuah
keputusan yang tepat. Dalam membuat sebuah keputusan, yang diharapkan oleh
orang-orang ialah keputusan yang tepat, cepat, dan bermanfaat. Hal ini menjadi
bernilai sempurna ketika begitu kenyataannya. Namun, seringkali hal ini menjadi
kombinasi yang tidak sesempurna harapan setiap pengambil keputusan atau dengan
kata lain, nilai sempurna bagi sebuah proses pengambilan keputusan adalah
relatif. Sempurna tidak selalu harus bernilai seratus atau terpenuhi segala
hasil yang diharapkan. Di sisi lain, islam memandang sempurna sebagai suatu
pencapaian pada niali-nilai syariat yaitu untuk tujuan maslahah hingga falah.
Proses pengambilan keputusan menjadi kegiatan
sehari-hari yang dilakukan manusia mulai dari zaman Rasulallah Saw sampai era
modern. Secara sederhana, proses ini dapat digambarkan dengan bagaimana
seseroang melakukan kegiatan sehari-hari, apa yang mereka lakukan setelah
bangun tidur, apa yang akan mereka makan hari ini, berapa uang yang akan
dikeluarkan, serta perencanaan-perencanaan lainnya. Proses-proses tersebut
pastinya membutuhkan suatu pemikiran yang cepat dan logis. Dengan kata lain,
faktor-faktor yang melandasi proses pengambilan keputusan ini pada dasarnya
sudah ada dalam alam sadar maupun alam bawah sadar setiap orang. Inilah yang
disebut natural.
Bagi seorang muslim, landasan pengambilan
keputusan secara natural adalah dasar-dasar islam. Pada hakikatnya setiap
ajaran islam maupun nilai-nilai islam memiliki hubungan saling terkait satu
sama lain. Dalam konteks pengambilan keputusan serta landasan-landasannya dan
nilai sempurna yang dihasilkan, hal ini berkaitan dengan lima nilai yang
terkandung dalam Maqasid Al Syariah.
Konsep Maqasid Al Syariah lebih banyak
diidentikkan dengan Abu Ishaq al Shathibi. Shatibi menjelaskan bahwa pada
dasarnya tujuan hukum islam adalah satu, yaitu untuk mencapai kemashlahatan
uman manusia.
Usamah dalam tulisannya menjelaskan:
“Maqasid Al
Syariah
berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan
hukum Islam. Sementara menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai
dan sasaran syara'
yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya.
Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia
syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari'
dalam setiap ketentuan hukum. Menurut Syathibi tujuan akhir hukum
tersebut adalah satu, yaitu mashlahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.”
Jika dikaitkan
dengan proses pengambilan keputusan, dalam konteks paling sederhana sekalipun,
tujuannya adalah untuk mencapai kemaslahatan, setidaknya bagi diri sendiri.
Secara agregat dapat diambil contoh pengambilan keputusan yang lebih besar,
misalnya kebijakan pemerintah. Namun, konsep ini seringkali diabaikan dalam
kehidupan di era global seperti sekarang ini.
Maqasid Al Syariah merupakan
lima hal yang melandasi dan harus dipelihara oleh setiap muslim dalam kaitannya
dengan pengambilan keputusan. Lima dasar nilai kepentingan dalam pengambilan keputusan
berdasarkan Maqasid Al Syariah,
yaitu:
1. Memelihara
Agama (Hifdzuddiin)
2. Memelihara
Jiwa (Hifdzunnafsi)
3. Memelihara
Akal (Hifdzul Aql)
4. Memelihara
Keturunan (Hifdzunnasl)
5. Memelihara
Harta (Hifdzul Maal)
Urutan ini
menunjukan kepentingan yang menjadi pertimbangan utama dalam proses pengambilan
keputusan seorang muslim. Namun, urutan niali-nilai Maqasid Al Syariah pada era modern sering bertabrakan dengan
kepentingan pribadi manusia modern yang banyak dipengaruhi oleh proses
globalisasi, termasuk globalisasi pemikiran dan nilai-nilai kehidupan.
Akibatnya, urutan pertimbangan yang seharusnya sesuai dengan syariat islam
menjadi bergeser nilai kepentingannya. Tidak sedikit muslim yang hidup dengan
pemikiran modern membalikan nilai kepentingan tersebut, dengan berbagai alasan
yang sebenarnya tidak dapat ditawar dalam ajaran islam. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, Maqasid Al Syariah
berarti tujuan atau maksud atau keseimbangan, sehingga implementasinya akan
memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Shabiti juga membagi nilai
kepentingan tersebut menjadi tiga (kebutuhan), yaitu dhoruriyyat, hajiyat, dan tahsiniyyat yang dalam konteks bahasa
berarti primer, sekunder dan tersier. Hal ini dapat dijelaskan dengan
tindakan-tindakan yang memiliki kepentingan sangat penting, penting dan tidak
terlalu penting tetapi sebaiknya dilakukan atau tindakan yang menghancurkan
secara absolute, mengancam atau merusak, dan tidak bermanfaat bagi manusia itu
sendiri.
Dalam proses
pengambilan keputusan secara natural, Maqasid
Al Syariah pada dasarnya telah menjadi landasan di alam bawah sadar setiap
muslim karena adanya unsur kebiasaan atau rutinitas. Sebaliknya, untuk
keputusan-keputusan yang justru diambil secara sadar atau logis, serignkali
nilai-nilai ini diabaikan. Adanya intervensi atau pengaruh eksternal dalam
proses pengambilan keputusan menjadi alasan klasik pudarnya nilai kepentingan Maqasid Al Syariah dalam proses
pengambilan keputusan. Padahal, apabila setiap keputusan dibuat dengan
pertimbangan utama Maqasid Al Syariah,
maka akan tercapai suatu keputusan atau hasil yang meskipun nialinya tidak
sempurna (karen adanya trade off dalam setiap pengambilan keputusan), namun
keputusan tersebut akan memberikan ketenangan dan ketentraman bagi orang yang
mengambil keputusan maupun lingkungan dan masyarakat yang dipengaruhinya.
Sebab, tujuan utama, yaitu kemaslahatan uamat sekurang-kurangnya sudah dapat
dicapai.
0 komentar:
Posting Komentar