Jumat, 02 November 2012

Maqasid Syariah sebagai Landasan Proses Pengambilan Keputusan

Nisa Silmi Afina-Department of Agribusiness, College of Economic and Management-Bogor Agricultural University
Sharia Economic Student Club (Eksternal).

Kedewasaaan seseorang salah satunya dapat terlihat dari pandangan mereka dalam mengambil keputusan. Proses pengambilan keputusan sekilas terlihat biasa, meskipun pada kenyataannya tidak sedikit orang membutuhkan waktu berhari-hari dalam merumuskan pemikiran guna mengambil sebuah keputusan yang tepat. Dalam membuat sebuah keputusan, yang diharapkan oleh orang-orang ialah keputusan yang tepat, cepat, dan bermanfaat. Hal ini menjadi bernilai sempurna ketika begitu kenyataannya. Namun, seringkali hal ini menjadi kombinasi yang tidak sesempurna harapan setiap pengambil keputusan atau dengan kata lain, nilai sempurna bagi sebuah proses pengambilan keputusan adalah relatif. Sempurna tidak selalu harus bernilai seratus atau terpenuhi segala hasil yang diharapkan. Di sisi lain, islam memandang sempurna sebagai suatu pencapaian pada niali-nilai syariat yaitu untuk tujuan maslahah hingga falah.
Proses pengambilan keputusan menjadi kegiatan sehari-hari yang dilakukan manusia mulai dari zaman Rasulallah Saw sampai era modern. Secara sederhana, proses ini dapat digambarkan dengan bagaimana seseroang melakukan kegiatan sehari-hari, apa yang mereka lakukan setelah bangun tidur, apa yang akan mereka makan hari ini, berapa uang yang akan dikeluarkan, serta perencanaan-perencanaan lainnya. Proses-proses tersebut pastinya membutuhkan suatu pemikiran yang cepat dan logis. Dengan kata lain, faktor-faktor yang melandasi proses pengambilan keputusan ini pada dasarnya sudah ada dalam alam sadar maupun alam bawah sadar setiap orang. Inilah yang disebut natural.
Bagi seorang muslim, landasan pengambilan keputusan secara natural adalah dasar-dasar islam. Pada hakikatnya setiap ajaran islam maupun nilai-nilai islam memiliki hubungan saling terkait satu sama lain. Dalam konteks pengambilan keputusan serta landasan-landasannya dan nilai sempurna yang dihasilkan, hal ini berkaitan dengan lima nilai yang terkandung dalam Maqasid Al Syariah. Konsep Maqasid Al Syariah lebih banyak diidentikkan dengan Abu Ishaq al Shathibi. Shatibi menjelaskan bahwa pada dasarnya tujuan hukum islam adalah satu, yaitu untuk mencapai kemashlahatan uman manusia.
Usamah dalam tulisannya menjelaskan:
“Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Sementara menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum. Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.”
Jika dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan, dalam konteks paling sederhana sekalipun, tujuannya adalah untuk mencapai kemaslahatan, setidaknya bagi diri sendiri. Secara agregat dapat diambil contoh pengambilan keputusan yang lebih besar, misalnya kebijakan pemerintah. Namun, konsep ini seringkali diabaikan dalam kehidupan di era global seperti sekarang ini.
Maqasid Al Syariah merupakan lima hal yang melandasi dan harus dipelihara oleh setiap muslim dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan. Lima dasar nilai kepentingan dalam pengambilan keputusan berdasarkan Maqasid Al Syariah, yaitu:
1.    Memelihara Agama (Hifdzuddiin)
2.    Memelihara Jiwa (Hifdzunnafsi)
3.    Memelihara Akal (Hifdzul Aql)
4.    Memelihara Keturunan (Hifdzunnasl)
5.    Memelihara Harta (Hifdzul Maal)

Urutan ini menunjukan kepentingan yang menjadi pertimbangan utama dalam proses pengambilan keputusan seorang muslim. Namun, urutan niali-nilai Maqasid Al Syariah pada era modern sering bertabrakan dengan kepentingan pribadi manusia modern yang banyak dipengaruhi oleh proses globalisasi, termasuk globalisasi pemikiran dan nilai-nilai kehidupan. Akibatnya, urutan pertimbangan yang seharusnya sesuai dengan syariat islam menjadi bergeser nilai kepentingannya. Tidak sedikit muslim yang hidup dengan pemikiran modern membalikan nilai kepentingan tersebut, dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak dapat ditawar dalam ajaran islam. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Maqasid Al Syariah berarti tujuan atau maksud atau keseimbangan, sehingga implementasinya akan memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Shabiti juga membagi nilai kepentingan tersebut menjadi tiga (kebutuhan), yaitu dhoruriyyat, hajiyat, dan tahsiniyyat yang dalam konteks bahasa berarti primer, sekunder dan tersier. Hal ini dapat dijelaskan dengan tindakan-tindakan yang memiliki kepentingan sangat penting, penting dan tidak terlalu penting tetapi sebaiknya dilakukan atau tindakan yang menghancurkan secara absolute, mengancam atau merusak, dan tidak bermanfaat bagi manusia itu sendiri.
Dalam proses pengambilan keputusan secara natural, Maqasid Al Syariah pada dasarnya telah menjadi landasan di alam bawah sadar setiap muslim karena adanya unsur kebiasaan atau rutinitas. Sebaliknya, untuk keputusan-keputusan yang justru diambil secara sadar atau logis, serignkali nilai-nilai ini diabaikan. Adanya intervensi atau pengaruh eksternal dalam proses pengambilan keputusan menjadi alasan klasik pudarnya nilai kepentingan Maqasid Al Syariah dalam proses pengambilan keputusan. Padahal, apabila setiap keputusan dibuat dengan pertimbangan utama Maqasid Al Syariah, maka akan tercapai suatu keputusan atau hasil yang meskipun nialinya tidak sempurna (karen adanya trade off dalam setiap pengambilan keputusan), namun keputusan tersebut akan memberikan ketenangan dan ketentraman bagi orang yang mengambil keputusan maupun lingkungan dan masyarakat yang dipengaruhinya. Sebab, tujuan utama, yaitu kemaslahatan uamat sekurang-kurangnya sudah dapat dicapai.



0 komentar:

Posting Komentar