Selasa, 04 Juni 2013

KAPAS 2013



Reforma Agraria: Distribusi Lahan Terlantar dan Ulasannya dari Sudut Pandang Ekonomi Islam
Persoalan kesulitan lahan merupakan persoalan inti yang banyak dialami oleh petani Indonesia yang sebagian besar hanya memiliki lahan sebesar 0.3 hektar. Pada KAPAS #2, Islamic Agri-Economist Forum (IAEF) bekerjasama dengan divisi Shar-e dan Eksternal Sharia Economics Student Club (SES-C), mengusung tema kajian ‘Reforma Agraria: Distribusi Lahan Terlantar dan Ulasannya dari Sudut Pandang Ekonomi Islam’. Tema tersebut diambil bersamaan dengan tema kampanye nasional dari Fossei Nasional, yaitu reforma agraria.  Dalam kajian yang diadakan pada 22 Mei 2013 ini, Dr. Satyawan Sunito, dosen Kajian Agraria Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB, dan Dr. Muhammad Findi, dosen Departemen Ilmu Ekonomi IPB, hadir sebagai pembicara. 
 
Diskusi dimulai dengan pemaparan Dr. Satyawan mengenai definisi reforma agraria dan perbedaannya dengan reforma lahan. Reforma agraria mencakup seluruh aspek pertanian. Tidak hanya lahan, tetapi juga input pertanian, pasar, jasa, termasuk di dalamnya finansial. Reforma agraria ini didefinisikan sebagai suatu perubahan struktur agraria yang besar yang berdampak pada peningkatan akses petani miskin pada tanah serta kepastian tenurial bagi mereka yang mengerjakan tanah dengan tujuan akhir adalah kesejahteraan petani.
Melihat kondisi petani Indonesia saat ini tidak heran jika Indonesia menjadi negara yang memiliki performa reforma agrarian yang paling rendah di dunia, yaitu sebesar 3-6 persen pada tahun 2001. Ia menambahkan, langkah strategis untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara memberikan dan memperbesar akses petani miskin pada tanah dan sumberdaya.
Dr. Findi menegaskan kepemilikan lahan dalam Islam menjadi fokus yang dominan karena lahan sangat dibutuhkan dalam produksi dalam pertanian. Dalam hadits Rasulullah saw disebutkan, “Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan memberikan maka tahanlah tanahnya itu.” (HR Bukhari).
Pemerintah seharusnya menjalankan perannya sebagai pembuat kebijakan agar sistem berjalan kondusif dan adil dalam kepemilikan lahan bagi rakyatnya ini. Selanjutnya, Undang-Undang Agraria pun seharusnya dipegang teguh dalam mengelola lahan khususnya pertanian. Tampaknya, memang Indonesia harus memiliki definisi operasional yang lebih jelas terkait lahan pertanian milik pemerintah, milik masyarakat, milik lembaga dan harus segera direalisasikan kejelasannya.
Islam sendiri tidak membatasi umatnya untuk menjadi seorang yang kaya. Justru Islam menganjurkan umatnya menjadi kaya agar dapat melindungi agama Islam. Islam tidak membatasi jumlah kepemilikan individu asalkan bukan barang yang dilarang syariah serta cara memperolehnya dari yang diperbolehkan syariah. Dalam setiap kepemilikan harta, wajib dikeluarkan zakatnya.
Banyak jalan yang dapat ditempuh ekonom Islam untuk menyelesaikan persoalan ini. Semoga kita, rakyat Indonesia, khususnya mahasiswa pertanian, dapat lebih bergerak bersama-sama lagi agar petani di negri kita ini dapat sejahtera. –Wallahu ‘alam- (/IAEF)
Salam Pertanian! Bangkitkan Ekonomi Syariah, No Riba, Goooo Syariah! FEM Dahsyat.

0 komentar:

Posting Komentar