Reforma
Agraria: Distribusi Lahan Terlantar dan Ulasannya dari Sudut Pandang Ekonomi
Islam
Persoalan
kesulitan lahan merupakan persoalan inti yang banyak dialami oleh petani
Indonesia yang sebagian besar hanya memiliki lahan sebesar 0.3 hektar. Pada
KAPAS #2, Islamic Agri-Economist Forum (IAEF) bekerjasama dengan divisi Shar-e
dan Eksternal Sharia Economics Student Club (SES-C), mengusung tema kajian
‘Reforma Agraria: Distribusi Lahan Terlantar dan Ulasannya dari Sudut Pandang
Ekonomi Islam’. Tema tersebut diambil bersamaan dengan tema kampanye nasional
dari Fossei Nasional, yaitu reforma agraria.
Dalam kajian yang diadakan pada 22 Mei 2013 ini, Dr. Satyawan Sunito, dosen
Kajian Agraria Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB, dan
Dr. Muhammad Findi, dosen Departemen Ilmu Ekonomi IPB, hadir sebagai pembicara.
Diskusi
dimulai dengan pemaparan Dr. Satyawan mengenai definisi reforma agraria dan perbedaannya
dengan reforma lahan. Reforma agraria mencakup seluruh aspek pertanian. Tidak
hanya lahan, tetapi juga input pertanian, pasar, jasa, termasuk di dalamnya
finansial. Reforma agraria ini didefinisikan sebagai suatu perubahan struktur
agraria yang besar yang berdampak pada peningkatan akses petani miskin pada
tanah serta kepastian tenurial bagi mereka yang mengerjakan tanah dengan tujuan
akhir adalah kesejahteraan petani.
Melihat
kondisi petani Indonesia saat ini tidak heran jika Indonesia menjadi negara
yang memiliki performa reforma agrarian yang paling rendah di dunia, yaitu
sebesar 3-6 persen pada tahun 2001. Ia menambahkan, langkah strategis untuk
mengentaskan kemiskinan dengan cara memberikan dan memperbesar akses petani miskin
pada tanah dan sumberdaya.
Dr.
Findi menegaskan kepemilikan lahan dalam Islam menjadi fokus yang dominan
karena lahan sangat dibutuhkan dalam produksi dalam pertanian. Dalam hadits
Rasulullah saw disebutkan, “Barangsiapa
mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada
saudaranya, jika ia enggan memberikan maka tahanlah tanahnya itu.” (HR
Bukhari).
Pemerintah
seharusnya menjalankan perannya sebagai pembuat kebijakan agar sistem berjalan
kondusif dan adil dalam kepemilikan lahan bagi rakyatnya ini. Selanjutnya,
Undang-Undang Agraria pun seharusnya dipegang teguh dalam mengelola lahan
khususnya pertanian. Tampaknya, memang Indonesia harus memiliki definisi
operasional yang lebih jelas terkait lahan pertanian milik pemerintah, milik
masyarakat, milik lembaga dan harus segera direalisasikan kejelasannya.
Islam
sendiri tidak membatasi umatnya untuk menjadi seorang yang kaya. Justru Islam
menganjurkan umatnya menjadi kaya agar dapat melindungi agama Islam. Islam
tidak membatasi jumlah kepemilikan individu asalkan bukan barang yang dilarang
syariah serta cara memperolehnya dari yang diperbolehkan syariah. Dalam setiap
kepemilikan harta, wajib dikeluarkan zakatnya.
Banyak
jalan yang dapat ditempuh ekonom Islam untuk menyelesaikan persoalan ini.
Semoga kita, rakyat Indonesia, khususnya mahasiswa pertanian, dapat lebih
bergerak bersama-sama lagi agar petani di negri kita ini dapat sejahtera.
–Wallahu ‘alam- (/IAEF)
Salam Pertanian! Bangkitkan Ekonomi Syariah, No Riba,
Goooo Syariah! FEM Dahsyat.
0 komentar:
Posting Komentar