Aqidah Islam
Hal penting
dalam memahami aqidah, yaitu:
- Setiap manusia memiliki fitrah untuk mengakui kebenaran dengan potensi yang dimilikinya (indra dan akal)
- Keyakinan itu harus bulat dan penuh, tidak berbaur dengan kesamaran dan keraguan, manusia harus memiliki ilmu sehingga ia dapat menerima kebenaran sepenuh hati (QS. 22:54)
- Aqidah harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang meyakininya, perlu ada keselarasan antara keyakinan lahiriah dan batiniah, pertentangan antara keduanya akan melahirkan kemunafikan (QS. 2:8, 4:142-143)
- Konsekuensinya harus sanggup membuang segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu.
Inti aqidah
Islam, inti dasar seluruh tatanan/norma ajaran Islam adalah Tauhid. Tauhid
diartikan sebagai keyakinan akan keesaan Allah SWT dalam rububiyah, ikhlas
beribadah kepadanya, serta menetapkan bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifatNya.
Dengan demikian tauhid ada tiga macam, yaitu:
Tauhid
Rububiyah
Mentauhidkan/mengesakan
Allah swt dalam segala perbuatan-Nya, dengan meyakini/mengimani bahwa Dia
adalah pencipta (Az-Zumar:62), pemberi rizki (Hud:6), penguasa dan pengatur
alam semesta (Ali Imran:26-27, Al-Fatihah:2)
Tauhid Uluhiyah
Mengesakan
dalam beribadah, segala peribadahan hanya untuk Allah swt, patuh dan taat
secara mutlak kepada-Nya. Tidak menghambakan diri kepada selain Allah dan tidak
pula menyekutukan-Nya (Al-An’am:102, Adz-Dzariyat:56)
Tauhid Asma’ wa
Sifat
Mengimani
segala sesuatu yang datang dari Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih dari
Rasulullah Saw tentang nama-nama dan sifat-sifatNya dan menetapkannya untuk
Allah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, tanpa mengubah,
menafikan/menghilangkan, menanyakan bagaimana dan menyerupakan (QS. 112:1-4,
42:11, 16:60).
Tauhid adalah
landasan filosofis yang paling fundamental bagi kehidupan manusia. Dalam
pandangan dunia holistik, tauhid bukanlah hanya ajaran tentang kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi lebih jauh mencakup pengaturan tentang sikap
manusia terhadap Tuhan dan terhadap sumber-sumber daya baik manusia maupun alam
sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tauhid bukan saja menanamkan keyakinan
tentang ke-Esaan Allah (Q.s al-Baqarah/ 2: 163 ; al-Ikhlash/112:1-4 dll.),
tetapi juga merupakan ajaran tentang “kesatuan penciptaan” (Q.s al-An’am/6:102;
al-Ra’ad/13:16; Fathir/35:3; al-Zumar/39:62; al-Mu’min/40:62; al-Hasyar/59:24
dll), “kesatuan kemanusiaan” (Q.s. al-Baqarah/2:213; al-Maidah/ 5:48 dll),
“kesatuan tuntunan hidup” (Q.s. Ali Imran/3:85; al-Nisa/4:125 dll.) dan
“kesatuan tujuan hidup”. Baik sebagai hamba Allah (Q.s al-Taubah/9:31;
al-Dzariyat/51:56) maupun khalifah Allah (Q.s al-Baqarah/2:30; al-An’am/6:165).
Pengejewantahan pandangan hidup yang holistik ini di masa-masa awal Islam
terlihat jelas sekali pada semua bidang kehidupan, baik pada bidang sosial
politik maupun pada sosial ekonomi.
Dalam pandangan
tauhid, manusia sebagai pelaku ekonomi hanyalah sekadar trustee (pemegang
amanah). Oleh sebab itu, manusia harus mengikuti ketentuan Allah dalam segala
aktivitasnya, termasuk aktivitas ekonomi. Ketentuan Allah yang harus dipatuhi
dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistis dalam alam dan kehidupan sosial,
tetapi juga yang bersifat teologis (uluhiyyah) dan moral (khuluqiyyah).
Adiwarman Karim
(2001) mengemukakan ada empat landasan filosofis sistem ekonomi syariah yang
menjadi pembeda utama dengan sistem ekonomi konvensional, yaitu:
Pertama, Tauhid;
Dalam sistem ekonomi syariah tauhid merupakan landasan fundamental, dengan
landasan ketauhidan ini segala sesutu yang ada merupakan ciptaan Allah swt .
dan hanya Allah pula yang mengatur segala sesuatunya terhadap ciptan-Nya
tersebut, termasuk mekanisme hubungan pengaturan rezeki terhadap
hamba-hamba-Nya, seperti pemilikannya, cara perolehannya dan pembelanjaannnya
(Tauhid rububiyyah). Untuk itu para pelaku ekonomi (manusia) harus mentaati
segala kaidah yang telah ditetapkan oleh Allah secara kaffah, termasuk dalam
bidang aktivitas perekonomian. Ketaatan tersebut bukan hanya dalam kehidupan
sosial belaka, tetapi meliputi hal-hal yang bersifat etik dan moral (Tauhid
uluhiyyah).
Kedua, Keadilan
dan keseimbangan; Sistem ekonomi syariah memandang keadilan dan
keseimbangan merupakan sesuatu hal yang mutlak untuk diamalkan olek pelaku
ekonomi. Perlunya hal ini berulangkali ditegaskan dalam Al-Quran. Keadilan dan
keseimbangan merupakan syarat mutlak untuk tercapainya kesejahteraan
masyarakat. Keadilan dan keseimbangan ini harus teraplikasi sedemikian rupa
antara anggota masyarakat yang melakukan hubungan ekonomi. Artinya keadilan dan
keseimbangan tersebut bukan hanya pada tataran teoritis tetapi juga dalam
tataran teknis. Misalnya dua orang melakukan hubungan ekonomi (contohnya
penjual-pembeli, pengusaha-pekerja) berada pada tempat yang sejajar dan
berkeadilan. Allah menegaskan bahwa Ia sangat mencintai orang-orang yang
berlaku adil (QS, 60: 8).
Ketiga, Kebebasan;
Dalam sistem ekonomi syariah, kebebasan merupakan hal pokok. Kebebasan disini
dimaksudkan bahwa manusia bebas untuk melakukan aktivitas ekonomi sepanjang tidak
ada larangan dari Allah swt. Dengan demikian pelaku ekonomi dalam sistem
ekonomi syariah diberikan keleluasaan untuk berkreatifitas dan berinovasi dalam
mengembangkan kegiatan ekonomi.
Keempat,
Pertanggungjawaban; Dalam sistem ekonomi syariah manusia sebagai khalifah
pemegang amanah Allah di muka bumi. Dalam melakukan aktivitas (termasuk
aktivitas ekonomi) diberikan keleluasaan untuk memilih apa yang terbaik untuk
dirinya. Namun demikian sebagai hamba Allah kepadanya akan diminta
pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang dilakukannya itu.
Dengan empat
landasan filosofis tersebut menjadikan sistem ekonomi syariah memiliki
keistimewaan dibanding dengan sistem ekonomi konvensional. Sistem ekonomi
syariah tidak memandang manusia sebagai makhluk ekonomi yang mendewakan materi,
akan tetapi memandang manusia memiliki fitrah sebagai makhluk yang memiliki
kasih sayang. Dengan adanya rasa kasih sayang akan melahirkan perbuatan tolong
menolong antar sesama (ta’awun dan takaful). Apalagi manusia memiliki sifat
dasar yang senang memberi bantuan kepada orang lain. Allah mengemukakan bahwa
orang yang berkasih sayang digolongkan kepada golongan kanan (QS, 90: 18).
Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam Islam tidak ada dikotomi antara agama
dan ekonomi. Karena dienul Islam memiliki karakteristik Syamil (lengkap
dan mencakup) yakni mencakup seluruh aspek kehidupan manusia (Al-An’am:38,
An-Nahl:89) termasuk di dalamnya aspek ekonomi. Dalam Gambar 1 terlihat bahwa
aspek ekonomi masuk ke dalam ruang lingkup syariah muamalah, dimana syariah
dapat diklasifikasikan menjadi dua:
1)
Syariah Ibadah
Pokok hukum terhadap ibadat adalah kebatalan (haram)
sehingga ada dalil yang memerintahkan untuk melaksanakannya, bersifat menunggu
perintah dan mengikuti sesuai dengan yang dikerjakan nabi. Tidak dimungkinkan
adanya kreativitas manusia dalam pelaksanaannya, misalnya sholat, zakat, puasa,
haji, dll.
2)
Syariah Muamalah
Pokok hukum dalam muamalat adalah kebolehan (halal)
sehingga ada dalil yang membatalkan dan mengharamkannya. Memungkinkan adanya
kreativitas manusia dalam pelaksanaanya selama kreasi yang dilakukan tidak ada
dalil yang membatalkan/mengharamkannya.
0 komentar:
Posting Komentar