Senin, 19 Maret 2012

Tauhid dan Filosofi Ekonomi Syariah


Aqidah adalah keyakinan yang tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian. Menurut Hasan Al-Banna Aqa’id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan. Kemudian Abu Bakar Al-Jazairi mengungkapkan, Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaannya dan menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.

Aqidah Islam
Hal penting dalam memahami aqidah, yaitu:
  • Setiap manusia memiliki fitrah untuk mengakui kebenaran dengan potensi yang dimilikinya (indra dan akal)
  • Keyakinan itu harus bulat dan penuh, tidak berbaur dengan kesamaran dan keraguan, manusia harus memiliki ilmu sehingga ia dapat menerima kebenaran sepenuh hati (QS. 22:54)
  • Aqidah harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang meyakininya, perlu ada keselarasan antara keyakinan lahiriah dan batiniah, pertentangan antara keduanya akan melahirkan kemunafikan (QS. 2:8, 4:142-143)
  •  Konsekuensinya harus sanggup membuang segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu.
Inti aqidah Islam, inti dasar seluruh tatanan/norma ajaran Islam adalah Tauhid. Tauhid diartikan sebagai keyakinan akan keesaan Allah SWT dalam rububiyah, ikhlas beribadah kepadanya, serta menetapkan bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifatNya. Dengan demikian tauhid ada tiga macam, yaitu:
Tauhid Rububiyah
Mentauhidkan/mengesakan Allah swt dalam segala perbuatan-Nya, dengan meyakini/mengimani bahwa Dia adalah pencipta (Az-Zumar:62), pemberi rizki (Hud:6), penguasa dan pengatur alam semesta (Ali Imran:26-27, Al-Fatihah:2)
Tauhid Uluhiyah
Mengesakan dalam beribadah, segala peribadahan hanya untuk Allah swt, patuh dan taat secara mutlak kepada-Nya. Tidak menghambakan diri kepada selain Allah dan tidak pula menyekutukan-Nya (Al-An’am:102, Adz-Dzariyat:56)
Tauhid Asma’ wa Sifat
Mengimani segala sesuatu yang datang dari Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih dari Rasulullah Saw tentang nama-nama dan sifat-sifatNya dan menetapkannya untuk Allah sesuai dengan  yang dikehendaki-Nya, tanpa mengubah, menafikan/menghilangkan, menanyakan bagaimana dan menyerupakan (QS. 112:1-4, 42:11, 16:60).
Tauhid adalah landasan filosofis yang paling fundamental bagi kehidupan manusia. Dalam pandangan dunia holistik, tauhid bukanlah hanya ajaran tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi lebih jauh mencakup pengaturan tentang sikap manusia terhadap Tuhan dan terhadap sumber-sumber daya baik manusia maupun alam sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tauhid bukan saja menanamkan keyakinan tentang ke-Esaan Allah (Q.s al-Baqarah/ 2: 163 ; al-Ikhlash/112:1-4 dll.), tetapi juga merupakan ajaran tentang “kesatuan penciptaan” (Q.s al-An’am/6:102; al-Ra’ad/13:16; Fathir/35:3; al-Zumar/39:62; al-Mu’min/40:62; al-Hasyar/59:24 dll), “kesatuan kemanusiaan” (Q.s. al-Baqarah/2:213; al-Maidah/ 5:48 dll), “kesatuan tuntunan hidup” (Q.s. Ali Imran/3:85; al-Nisa/4:125 dll.) dan “kesatuan tujuan hidup”. Baik sebagai hamba Allah (Q.s al-Taubah/9:31; al-Dzariyat/51:56) maupun khalifah Allah (Q.s al-Baqarah/2:30; al-An’am/6:165). Pengejewantahan pandangan hidup yang holistik ini di masa-masa awal Islam terlihat jelas sekali pada semua bidang kehidupan, baik pada bidang sosial politik maupun pada sosial ekonomi.
Dalam pandangan tauhid, manusia sebagai pelaku ekonomi hanyalah sekadar trustee (pemegang amanah). Oleh sebab itu, manusia harus mengikuti ketentuan Allah dalam segala aktivitasnya, termasuk aktivitas ekonomi. Ketentuan Allah yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistis dalam alam dan kehidupan sosial, tetapi juga yang bersifat teologis (uluhiyyah) dan moral (khuluqiyyah).
Adiwarman Karim (2001) mengemukakan ada empat landasan filosofis sistem ekonomi syariah yang menjadi pembeda utama dengan sistem ekonomi konvensional, yaitu:
Pertama, Tauhid; Dalam sistem ekonomi syariah tauhid merupakan landasan fundamental, dengan landasan ketauhidan ini segala sesutu yang ada merupakan ciptaan Allah swt . dan hanya Allah pula yang mengatur segala sesuatunya terhadap ciptan-Nya tersebut, termasuk mekanisme hubungan pengaturan rezeki terhadap hamba-hamba-Nya, seperti pemilikannya, cara perolehannya dan pembelanjaannnya (Tauhid rububiyyah). Untuk itu para pelaku ekonomi (manusia) harus mentaati segala kaidah yang telah ditetapkan oleh Allah secara kaffah, termasuk dalam bidang aktivitas perekonomian. Ketaatan tersebut bukan hanya dalam kehidupan sosial belaka, tetapi meliputi hal-hal yang bersifat etik dan moral (Tauhid uluhiyyah).
Kedua, Keadilan dan keseimbangan; Sistem ekonomi syariah memandang keadilan dan keseimbangan merupakan sesuatu hal yang mutlak untuk diamalkan olek pelaku ekonomi. Perlunya hal ini berulangkali ditegaskan dalam Al-Quran. Keadilan dan keseimbangan merupakan syarat mutlak untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Keadilan dan keseimbangan ini harus teraplikasi sedemikian rupa antara anggota masyarakat yang melakukan hubungan ekonomi. Artinya keadilan dan keseimbangan tersebut bukan hanya pada tataran teoritis tetapi juga dalam tataran teknis. Misalnya dua orang melakukan hubungan ekonomi (contohnya penjual-pembeli, pengusaha-pekerja) berada pada tempat yang sejajar dan berkeadilan. Allah menegaskan bahwa Ia sangat mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS, 60: 8).
Ketiga, Kebebasan; Dalam sistem ekonomi syariah, kebebasan merupakan hal pokok. Kebebasan disini dimaksudkan bahwa manusia bebas untuk melakukan aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada larangan dari Allah swt. Dengan demikian pelaku ekonomi dalam sistem ekonomi syariah diberikan keleluasaan untuk berkreatifitas dan berinovasi dalam mengembangkan kegiatan ekonomi.
Keempat, Pertanggungjawaban; Dalam sistem ekonomi syariah manusia sebagai khalifah pemegang amanah Allah di muka bumi. Dalam melakukan aktivitas (termasuk aktivitas ekonomi) diberikan keleluasaan untuk memilih apa yang terbaik untuk dirinya. Namun demikian sebagai hamba Allah kepadanya akan diminta pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang dilakukannya itu.
Dengan empat landasan filosofis tersebut menjadikan sistem ekonomi syariah memiliki keistimewaan dibanding dengan sistem ekonomi konvensional. Sistem ekonomi syariah tidak memandang manusia sebagai makhluk ekonomi yang mendewakan materi, akan tetapi memandang manusia memiliki fitrah sebagai makhluk yang memiliki kasih sayang. Dengan adanya rasa kasih sayang akan melahirkan perbuatan tolong menolong antar sesama (ta’awun dan takaful). Apalagi manusia memiliki sifat dasar yang senang memberi bantuan kepada orang lain. Allah mengemukakan bahwa orang yang berkasih sayang digolongkan kepada golongan kanan (QS, 90: 18).

 Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam Islam tidak ada dikotomi antara agama dan ekonomi. Karena dienul Islam memiliki karakteristik Syamil (lengkap dan mencakup) yakni mencakup seluruh aspek kehidupan manusia (Al-An’am:38, An-Nahl:89) termasuk di dalamnya aspek ekonomi. Dalam Gambar 1 terlihat bahwa aspek ekonomi masuk ke dalam ruang lingkup syariah muamalah, dimana syariah dapat diklasifikasikan menjadi dua:
1)   Syariah Ibadah
Pokok hukum terhadap ibadat adalah kebatalan (haram) sehingga ada dalil yang memerintahkan untuk melaksanakannya, bersifat menunggu perintah dan mengikuti sesuai dengan yang dikerjakan nabi. Tidak dimungkinkan adanya kreativitas manusia dalam pelaksanaannya, misalnya sholat, zakat, puasa, haji, dll.
2)   Syariah Muamalah
Pokok hukum dalam muamalat adalah kebolehan (halal) sehingga ada dalil yang membatalkan dan mengharamkannya. Memungkinkan adanya kreativitas manusia dalam pelaksanaanya selama kreasi yang dilakukan tidak ada dalil yang membatalkan/mengharamkannya. 

0 komentar:

Posting Komentar